Merpatiku
Telah Hilang Pergi
Author: Dewirinanti H.P
amaku Amalia Yosi Firdausa, panggil aku Osa. Hari ini hari
pertamaku masuk sekolah. Di sebuah kelas di ujung lorong. Kulihat wajah-wajah
yang tampak asing bagiku. Di keasingan itu, kulihat sebuah karunia Tuhan yang
sampai saat ini aku sebut “semangat hidup”. Aku tak bisa lepas dari tatapan
pertamaku, tatapan dimana aku terjebak dalam dimensi waktu yang seakan-akan
berhenti berlari ketika bertatapan dengan sosok itu.
Hari berganti hari, setiap bel kehidupan
berbunyi ingin rasanya aku berlari menjumpai sosok tampan yang ku tak tahu
namanya itu.
Hari ini
pelajaran olahraga, aku menyeka peluh di wajahku sembari menatap kelasnya yang
kuanggap sebagai surga di sekolahku. Tenggorokanku sangat kering sehingga
kupalingkan surga itu sejenak untuk membasahi tenggorokanku. Kulangkahkan
kakiku menuju koperasi yang letaknya jauh dari “surga” itu. Sesaat setelah aku
membuka lemari pendingin untuk mengambil minum, kulihat tangan yang kecoklatan,
yang tidak asing lagi bagi mataku. Saat kuberanikan diri menatap wajahnya, dia
menatapku kembali. Mata kami bertemu dan saat kusadar, dialah cahaya hidupku.
Waktu seakan berhenti, kami berdua melempar senyum bersamaan seakan berkata
berpisah. Setelah kejadian itu, kutahu sudah namanya, Prabandaru Samuel Haryono.
Sam, nama
yang indah, nama yang gagah. Nama yang tampan. Setampan dan segagah parasnya.
Hari berganti hari, aku sudah mulai mengenali seluk-beluk tentang dirinya
karena dia juga anak populer di sekolah. Selain itu, dia juga mahir dalam bela
diri. Dia tergabung dalam kelompok silat “Merpati Putih”. Aku menyesal karena
sudah terlanjur tidak memilih ekskul yang sama dengan Sam. Padahal awalnya aku
ingin masuk ke ekskul itu, untuk meneruskan karirku dalam bidang bela diri.
Tak terasa,
sudah 1 semester aku dan Sam menjadi kakak dan adik kelas. Sudah 1 semester
pula aku menatapnya satu arah tanpa dia mengetahui keberadaanku. Miris memang,
tetapi apa dayaku untuk menjadi dekat dan menjadi sorotannya. Mungkin baginya
aku hanyalah angin lalu yang hanya sesaat, tapi bagiku ia lebih dari sekedar
angin, bagiku ia udara. Tanpanya tak ada pula semangatku.
Aku merasa
bersalah, karena tujuanku untuk datang ke sekolah sudah teralihkan. Yang
awalnya berniat untuk menimba ilmu, namun yang terjadi hanya menimba info Sam.
Aku sadar aku sudah seharusnya rajin belajar, tapi apa daya hatiku berkata
lain, Sam sudah berhasil mencuri hatiku dan juga pikiranku.
Setelah
sekian lama, aku mulai mencari tahu tentang apapun tentangnya di sosial media.
Dia bukan anak yang eksis di Facebook atau semacamnya. Kuberanikan diri untuk
menekan tombol ADD FRIEND yang sampai sekarang tak kunjung dikonfirmasinya.
Sedih rasanya, namun siapalah aku ini.
Sore ini aku
mengikuti kegiatan pramuka yang tentu saja menginap. Disitu mulai kukenal teman
satu angkatanku yang juga “menjabat” sebagai Penggemar Rahasia Para Senior.
Entah pesona apa yang dimiliki para senior kami sehingga kami takluk dibuatnya.
Sebut saja Barbie, ia teman satu regu denganku. Ia juga anak Merpati Putih.
Jujur aku sering merasa iri dengannya, ia yang terkenal supel dan cantik. Tak
heran maka banyak senior yang terpikat olehnya.
Malam saat
kami sedang menikmati dingin, kami dikejutkan dengan suara Barbie yang baru
saja mendapat pesan singkat dari Sam, “EH MAS SAM SMS AKU NIH!”. Saat aku
mendengarnya, entah apa yang telah menyambar hatiku hingga menusuk ke dalam.
Sakit sekali. Karena tak tahan dengan hal itu, aku memilih pergi dari
kawananku.
Setelah
kejadian itu, mulai pupus harapanku untuk mendapatkan sosok tampan ber-ninja
itu. Tetapi saat harapan itu pupus, sosok itu justru datang kembali membawa
sejuta pesona barunya hingga hatiku tak kuasa menolak pesonanya, “AAA SAM
POTONG KUMIS JADI TAMBAH CUTEEEE!!!”.
Selepas kedatangan dia kembali ke hatiku,
banyak kejadian yang mulai mendekatkan aku dengannya kembali. Bertemu di
Musholla, dan entah berapa kali mata kami bertemu. Aku sangat menikmati
kedekatan kami yang jauh itu. Aku senang kami bisa sedekat ini.
Suatu hari kulihat ia bermain basket di lapangan,
“Sungguh tampan ciptaan-Mu yang satu itu ya Tuhan” , gumamku.
Peluh yang membasahi wajahnya, membuatnya terlihat lebih
tampan, lebih keren dari biasanya. Entah apa lagi yang menyambar hatiku,
rasanya seperti tersambar petir yang membawa zat-zat aneh yang disebut cinta.
“Dia tampan,
apa mungkin ia menyukaiku? Atau hanya pungguk yang merindukan bulan?”
Di
siang yang panas ini, seperti biasa, kulekatkan pandanganku ke arah XII IPA 4,
kelas Sam. Terlintas di benakku, sedang apa ia sekarang. Apa yang dia pikirkan
sekarang. Ah tapi sudahlah, siapakah aku ini. Suatu saat, aku mencoba membuka
profilnya di facebook. Saat aku mulai men-stalking accountnya, saat itu jugalah
aku patah hati. Kulihat seorang perempuan yang tidak kukenal, memasang nama Sam
sebagai sampulnya. Patah hatilah aku. Pupus sudah harapanku. Aku tak lagi
berharap apapun tentang dia (lagi).
Saat
ku mulai berhenti untuk menyukainya, dia justru datang. Berusaha mengobati luka
lamaku mungkin. Harapanku
yang hancur kini mulai ditata ulang olehnya, entahlah. Tapi aku senang dia
datang kembali. Ia tersenyum padaku, ia mulai bercerita tentang
masa lalunya padaku. Aku dan dia dekat, sekarang. Bahkan tempat duduk di
ninjanya pernah kutempati. Tak pernah kusangka bisa sedekat ini, lebih dekat
dari sekedar senyum dari kejauhan. Ya memang status kami hanya teman, tapi
apalah arti sebuah status? Aku bahagia bisa SEDEKAT ini dengannya. Merengkuh
tangannya, merasakan hangatnya genggamannya. Seakan dialah milikku, dan akulah
miliknya. “Tuhan, jangan pisahkan kami (lagi)” batinku. Dialah semangat hidupku
yang pernah hilang dan sekarang datang kembali.
Tak terasa sudah satu tahun aku menjadi adik
kelas Sam. Kabarku sekarang baik, Sam juga baik. Tapi kisah kami tidak.
Hari
itu malam perpisahan di sekolah kami. Aku datang kesana tanpa Sam. Sam berkata
bahwa ia tak akan datang karena ia tak menyukai pesta. Saat arlojiku
menunjukkan angka 10, aku melihat sosok tampan yang sangat kukenali wajahnya,
sangat kuhafal wangi parfumnya. Ya, itu Sam! Lalu mengapa ia disini? Coba
kubuntuti dia sampai akhirnya ia berhenti di depan kelasnya. Aku hanya bisa
melihat dari ujung lorong. Tempat dimana Sam tidak menyadari keberadaanku. Aku
melihat Sam berbicara dengan seorang perempuan yang aku kenal. Ya, dia
sahabatku sendiri, Lia. Kulihat dari kejauhan, Sam memberi sekuntum mawar merah
lengkap dengan kado berkotak merah muda. Tak lupa Sam memberi kecupan di dahi
Lia. Betapa hancur hatiku melihat kejadian itu. Kejadian yang lebih memilukan
daripada remidi fisika.
“Jadi apa arti
genggaman tangan itu? Apa arti semua puisi yang dikirimkannya di pagi hari? Apa
arti setiap lagu yang pernah ia mainkan untukku? Apa arti semua mawar merah
yang selalu ia berikan setiap pagi?”
Tak kusadari air mataku perlahan
jatuh membasahi pipiku, dadaku terasa sesak, ingin rasanya kubunuh mereka.
Melihat
mereka yang seperti itu, tanpa pikir panjang lagi aku pergi menghampiri
sepedaku. Kukayuh pedal dengan sekuat tenaga hingga darah mulai mengalir dari
kakiku.
“Hatiku berdarah,
begitu pula kakiku. Lalu bagaimana aku akan bangkit?”
Air mata yang menetes, darah,
serta hujan mengiringi sakit hatiku di malam itu.
Merpatiku Telah Hilang Pergi.