Wednesday, April 23, 2014

Jatuh Cinta Diam-Diam

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 2:39 AM 0 comments

Diam, katanya emas. 
Jika memang begitu, harusnya orang yang jatuh cinta diam-diam praktis menjadi orang terkaya di dunia. 
Aku tahu! Mengapa jatuh cinta diam-diam tak kunjung membuat pelakunya kaya? 
Karena ‘emas’ yang di dapat karena diamnya habis digerogoti rasa penasaran dan kelelahan menebak-nebak.
Sesungguhnya benak orang yang jatuh cinta diam-diam adalah benak yang paling cerewet. Dalam pikirannya, orang yang jatuh cinta diam-diam akan terus berceloteh, bertanya, dan lagi, menebak. Mungkin terlihat tak ada lelahnya. Tetapi sebenarnya tak ada yang pernah menginginkan itu, hanya saja tak ada yang kuasa ketika itu menimpa dirinya.
Pertanyaan demi pertanyaan terus saja menghiasi pikiran. Aku, juga pernah jatuh cinta diam-diam. Kurang atau lebihnya, aku selalu bertanya.
“Apakah dia tahu kalau aku sering memandanginya bahkan ketika dia melakukan aktivitas sekecil apa pun?”
“Apa dia pernah melihatku, menyadari keberadaanku? Atau aku begitu tak nyata?”
“Pernahkah sedikit saja terlintas dalam pikirannya tentang aku?”
“Mengapa dia mengenakan baju dengan warna seperti warna kesukaanku?”
“Mengapa dia menyanyikan lagu favoritku di lorong kelas tadi?”
“Ah, bagaimana bisa dia bercerita ke temannya baru saja menonton film yang sudah berkali-kali aku tonton karena aku sungguh menyukainya?”
“Apakah dia punya perasaan yang sama denganku?”

Aku sering merenung, khususnya di malam hari. Tak mengerti mengapa hubungan antara satu manusia dengan manusia lain bisa begitu rumit, atau dibuat rumit oleh manusia itu sendiri? Entah.
Setahuku, komunikasi bisa meluruskan semuanya, menghilangkan penasaran, menghentikan kamu menebak-nebak. Bicara, dan kamu akan berhenti untuk lelah.
Karena orang yang jatuh cinta diam-diam, cintanya juga bisa berbalas. Balasan berupa penerimaan diam-diam, penolakan diam-diam, atau mungkin diabaikan diam-diam.

Sunday, April 13, 2014

Cerita Cinta Biasa

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 1:04 AM 0 comments
Gif: Tumblr (dreaming-when-lights-are-gone)
Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang berjalan di sebuah trotoar basah. Air hujan kala itu menyamarkan genang di matanya.
Tidak terjatuh. Air itu menggantung di pelupuk. Seperti rasa sesal yang tertumpuk. Bintik air mulai membasahi kemeja birunya. Ujung dasinya ia gulung kemudian dimasukkannya ke kantung kemeja, seperti enggan membuka dasi itu sama sekali. Tak ingin kebasahan, tapi melindunginya pun setengah hati.
Ada yang istimewa dengan dasi hitam itu.
Seolah tak takut pada rintik hujan, pria itu sama sekali tak mempercepat langkah kakinya. Tak ada kenaikan volume suara dari pantofel yang beradu dengan trotoar. Sesekali ia menengok ke kiri. Toko dan kedai satu persatu ia lewati.
Kali ini dia meluruskan tangannya ke depan, hanya untuk menyingsingkan lengan kemejanya, lalu membengkokkan sikunya hingga pergelangan tangan mendekati dada. Jarum jam di jam tangan hitamnya menunjukkan pukul 5.47 sore.
Sudah dua blok pria itu berjalan. Bahunya sudah membentur bahu orang lain tiga kali, hampir bertabrakan melawan lalu-lalangnya orang.
Pria itu memperlambat langkahnya, menengadah ke langit. Namun kini tak ada lagi titik air menjatuhi wajahnya. Hujan sudah reda. Ia bersandar di dinding sebuah toko roti. Seperti banyak yang dipikirkan, dahinya mengerut. Bola matanya menatap ke arah sudut kiri kelopaknya.
Tangannya mengepal. Ia memukul tembok. Kesal. Sekaligus terkejut. Ada sesosok pria terduduk satu setengah meter di kiri pria itu. Seorang pria lainnya. Sesosok pria tak berumah.
Gelandangan itu memegang sepotong kardus bertuliskan “uang, atau sebuah senyuman”.
Foto: Tumblr (thatfuckedupglory)
Mata sang pria memincing. Namun kemudian ia tersenyum. Berjalan perlahan mendekati si gelandangan, merogoh kantung celana bahannya, kemudian membungkuk. Diberikannya beberapa keping koin kembalian membeli kopi tadi sepulangnya bekerja. Pria itu tersenyum sekali lagi.
Gelandangan itu bertanya, “Hendak ke mana, Nak?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
“Mengapa berjalan jika tak tahu tujuan?”
“Aku ingin bertemu seseorang.”
Gelandangan itu menatap wajah sang pria lebih dalam dari sebelumnya, sebelum kemudian mengangguk perlahan mengusap janggut putihnya yang lebat. “Mengapa kamu memberikan semuanya?”
“Aku hanya memberikanmu koin,” jawab sang pria sedikit terheran, “bahkan ini masih ada sisa koin di sakuku.”
“Bukan. Aku hanya meminta uang, atau sebuah senyuman.”
“Ah, iya. Kalau bisa memberi semua, mengapa harus salah satu?”
Gelandangan itu tersenyum. “Kejarlah, Nak. Jangan setengah-setengah.”
Sang pria terdiam. Matanya terbuka. Ada degupan kencang di dadanya seraya ia berdiri kembali. Seketika ia melanjutkan langkahnya. Mempercepatnya. Bukan. Berlari!
Bagian bawah kemejanya mulai mengering, hanya tinggal bagian bahunya saja yang basah. Pria itu berhenti di satu persimpangan. Tepat di depan sebuah kios majalah. Sang pria menatap ke arah tiang lampu lalu lintas. Bibirnya terbuka membaca perlahan tulisan dari spidol merah di tiang itu.
Jio.
Ia berbalik dan menoleh ke arah kios majalah. Sontak pikiran pria itu terlempar jauh ke belakang. Tergambar sosok perempuan berambut panjang, tak terlalu lurus, sedikit ikal. Hidungnya tak mancung, malah cenderung besar. Pipinya pun mengingatkan pria itu tentang bakpao yang sering dijadikannya bahan ejekan untuk sang perempuan. Pria itu memanggilnya Jio.
Pria itu ingat betul perempuan yang ada di bayangannya sekarang sering mengeluhkan dirinya gendut. Perempuan yang sering merasa gendut itu telah membuat sang pria kurus karena sering memikirkannya.
24 menit sudah sang pria berdiri di persimpangan jalan itu. Selama itu, ia menancapkan tatapan ke kios majalah. Menunggu. Pria itu sesekali melihat jam tangannya. Kali ini jam tangannya menunjukkan pukul 6.57 malam.
“Harusnya sudah datang,” gumamnya.
Hingga Jio akhirnya tiba di kios majalah. Berbicara kepada penjaganya, menyerahkan sejumlah uang, dan mengambil majalah bergambar rumah di cover-nya.
Degup di dada sang pria semakin kencang. Ada lagi informasi kecil yang membangkitkan memori.Jio suka hal berbau interior. Pria itu mendadak ingat pernah membelikan Jio kursi unik berbentuk segitiga berwarna hijau sebagai hadiah ulang tahunnya.
Dengan keberanian terbesar yang selama ini ia kumpulkan, pria itu melangkah menghampiri Jio. Berhenti dan berdiri tetap di hadapannya. Jio terkejut, kemudian melihat dari kaki hingga kepala pria itu.
Jio, aku cuma ingin meminta maaf.”
“Nggak ada lagi …”
Belum selesai Jio bicara, pria itu menyambarnya. “Seumur hidupku aku nggak bisa hidup seperti ini. Hidup yang tanpa kamu di dalamnya.”
Jio terhenyak. Pipinya basah. “Aku yang harusnya minta maaf.”
Jio melangkah ke arah kanan pria itu. Cepat.
Belum sempat pria itu mengejar, Jio sudah disambut seorang pria dengan raut wajah agak kebingungan. Bahasa bibirnya menunjukkan, “Kamu kenapa?” bertanya kepada Jio, kemudian melayangkan sebuah pelukan di pundak.
Pria itu bergeming. Matanya menatap nanar. Bertambah lagi perbendaharaan sekuen pahit di hatinya. Yang bisa ia lakukan hanyalah merogoh sisa koin di kantung celananya, kemudian memandanginya. “Mengapa waktu itu tak kuberikan sepenuhnya?”
Pria itu menyesal karena tak selalu ada. Ia menyesal karena tak memberikan semua yang dipunya. Ia longgarkan simpul dasi hitam di kerah kemejanya dengan tangan kiri. Menggoyang-goyangkannya sedikit, kemudian melepasnya. Tak membuangnya, tapi menggenggamnya. Seperti hatinya masih ingin menggenggam, tapi harus melepas.
Kini, dahinya hanya bisa mengerut, menahan air mata untuk tak jatuh. Hanya tak ingin kelihatan cengeng.
Namun ada yang tak biasa dari alis tebalnya yang mengernyit. Sebuah petir menghunjam denyut jantungnya berupa rasa sakit. Sakit luar biasa, yang semuanya bermuara pada satu frasa. Rasa sesal.
Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang mencinta dengan biasa. Sebiasa ia bernapas. Saking terbiasa, hingga akhirnya sang pria tak bisa hidup tanpanya.

Saturday, April 12, 2014

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 8:29 AM 0 comments
Ada saatnya matahari harus tenggelam
Dan bila saat itu tiba, segala sesuatunya memang menjadi gelap
Tapi kita harus tahu bahwa Tuhan
memberikan bintang sebagai lentera dan bahwa sesudah terbenamnya, 
Matahari pasti akan terbit lagi hari esok.

-dwrnnthp



Merpatiku Telah Hilang Pergi

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 6:39 AM 0 comments
Merpatiku Telah Hilang Pergi

Author: Dewirinanti H.P

N
amaku Amalia Yosi Firdausa, panggil aku Osa. Hari ini hari pertamaku masuk sekolah. Di sebuah kelas di ujung lorong. Kulihat wajah-wajah yang tampak asing bagiku. Di keasingan itu, kulihat sebuah karunia Tuhan yang sampai saat ini aku sebut “semangat hidup”. Aku tak bisa lepas dari tatapan pertamaku, tatapan dimana aku terjebak dalam dimensi waktu yang seakan-akan berhenti berlari ketika bertatapan dengan sosok itu.

            Hari berganti hari, setiap bel kehidupan berbunyi ingin rasanya aku berlari menjumpai sosok tampan yang ku tak tahu namanya itu.

            Hari ini pelajaran olahraga, aku menyeka peluh di wajahku sembari menatap kelasnya yang kuanggap sebagai surga di sekolahku. Tenggorokanku sangat kering sehingga kupalingkan surga itu sejenak untuk membasahi tenggorokanku. Kulangkahkan kakiku menuju koperasi yang letaknya jauh dari “surga” itu. Sesaat setelah aku membuka lemari pendingin untuk mengambil minum, kulihat tangan yang kecoklatan, yang tidak asing lagi bagi mataku. Saat kuberanikan diri menatap wajahnya, dia menatapku kembali. Mata kami bertemu dan saat kusadar, dialah cahaya hidupku. Waktu seakan berhenti, kami berdua melempar senyum bersamaan seakan berkata berpisah. Setelah kejadian itu, kutahu sudah namanya, Prabandaru Samuel Haryono.

            Sam, nama yang indah, nama yang gagah. Nama yang tampan. Setampan dan segagah parasnya. Hari berganti hari, aku sudah mulai mengenali seluk-beluk tentang dirinya karena dia juga anak populer di sekolah. Selain itu, dia juga mahir dalam bela diri. Dia tergabung dalam kelompok silat “Merpati Putih”. Aku menyesal karena sudah terlanjur tidak memilih ekskul yang sama dengan Sam. Padahal awalnya aku ingin masuk ke ekskul itu, untuk meneruskan karirku dalam bidang bela diri.

            Tak terasa, sudah 1 semester aku dan Sam menjadi kakak dan adik kelas. Sudah 1 semester pula aku menatapnya satu arah tanpa dia mengetahui keberadaanku. Miris memang, tetapi apa dayaku untuk menjadi dekat dan menjadi sorotannya. Mungkin baginya aku hanyalah angin lalu yang hanya sesaat, tapi bagiku ia lebih dari sekedar angin, bagiku ia udara. Tanpanya tak ada pula semangatku.

            Aku merasa bersalah, karena tujuanku untuk datang ke sekolah sudah teralihkan. Yang awalnya berniat untuk menimba ilmu, namun yang terjadi hanya menimba info Sam. Aku sadar aku sudah seharusnya rajin belajar, tapi apa daya hatiku berkata lain, Sam sudah berhasil mencuri hatiku dan juga pikiranku.

            Setelah sekian lama, aku mulai mencari tahu tentang apapun tentangnya di sosial media. Dia bukan anak yang eksis di Facebook atau semacamnya. Kuberanikan diri untuk menekan tombol ADD FRIEND yang sampai sekarang tak kunjung dikonfirmasinya. Sedih rasanya, namun siapalah aku ini.

            Sore ini aku mengikuti kegiatan pramuka yang tentu saja menginap. Disitu mulai kukenal teman satu angkatanku yang juga “menjabat” sebagai Penggemar Rahasia Para Senior. Entah pesona apa yang dimiliki para senior kami sehingga kami takluk dibuatnya. Sebut saja Barbie, ia teman satu regu denganku. Ia juga anak Merpati Putih. Jujur aku sering merasa iri dengannya, ia yang terkenal supel dan cantik. Tak heran maka banyak senior yang terpikat olehnya.

            Malam saat kami sedang menikmati dingin, kami dikejutkan dengan suara Barbie yang baru saja mendapat pesan singkat dari Sam, “EH MAS SAM SMS AKU NIH!”. Saat aku mendengarnya, entah apa yang telah menyambar hatiku hingga menusuk ke dalam. Sakit sekali. Karena tak tahan dengan hal itu, aku memilih pergi dari kawananku.
            Setelah kejadian itu, mulai pupus harapanku untuk mendapatkan sosok tampan ber-ninja itu. Tetapi saat harapan itu pupus, sosok itu justru datang kembali membawa sejuta pesona barunya hingga hatiku tak kuasa menolak pesonanya, “AAA SAM POTONG KUMIS JADI TAMBAH CUTEEEE!!!”.

            Selepas kedatangan dia kembali ke hatiku, banyak kejadian yang mulai mendekatkan aku dengannya kembali. Bertemu di Musholla, dan entah berapa kali mata kami bertemu. Aku sangat menikmati kedekatan kami yang jauh itu. Aku senang kami bisa sedekat ini.

            Suatu hari kulihat ia bermain basket di lapangan,
“Sungguh tampan ciptaan-Mu yang satu itu ya Tuhan” , gumamku.
Peluh yang membasahi wajahnya, membuatnya terlihat lebih tampan, lebih keren dari biasanya. Entah apa lagi yang menyambar hatiku, rasanya seperti tersambar petir yang membawa zat-zat aneh yang disebut cinta.

“Dia tampan, apa mungkin ia menyukaiku? Atau hanya pungguk yang merindukan bulan?”

            Di siang yang panas ini, seperti biasa, kulekatkan pandanganku ke arah XII IPA 4, kelas Sam. Terlintas di benakku, sedang apa ia sekarang. Apa yang dia pikirkan sekarang. Ah tapi sudahlah, siapakah aku ini. Suatu saat, aku mencoba membuka profilnya di facebook. Saat aku mulai men-stalking accountnya, saat itu jugalah aku patah hati. Kulihat seorang perempuan yang tidak kukenal, memasang nama Sam sebagai sampulnya. Patah hatilah aku. Pupus sudah harapanku. Aku tak lagi berharap apapun tentang dia (lagi).

            Saat ku mulai berhenti untuk menyukainya, dia justru datang. Berusaha mengobati luka lamaku mungkin. Harapanku yang hancur kini mulai ditata ulang olehnya, entahlah. Tapi aku senang dia datang kembali. Ia tersenyum padaku, ia mulai bercerita tentang masa lalunya padaku. Aku dan dia dekat, sekarang. Bahkan tempat duduk di ninjanya pernah kutempati. Tak pernah kusangka bisa sedekat ini, lebih dekat dari sekedar senyum dari kejauhan. Ya memang status kami hanya teman, tapi apalah arti sebuah status? Aku bahagia bisa SEDEKAT ini dengannya. Merengkuh tangannya, merasakan hangatnya genggamannya. Seakan dialah milikku, dan akulah miliknya. “Tuhan, jangan pisahkan kami (lagi)” batinku. Dialah semangat hidupku yang pernah hilang dan sekarang datang kembali.

            Tak terasa sudah satu tahun aku menjadi adik kelas Sam. Kabarku sekarang baik, Sam juga baik. Tapi kisah kami tidak.

            Hari itu malam perpisahan di sekolah kami. Aku datang kesana tanpa Sam. Sam berkata bahwa ia tak akan datang karena ia tak menyukai pesta. Saat arlojiku menunjukkan angka 10, aku melihat sosok tampan yang sangat kukenali wajahnya, sangat kuhafal wangi parfumnya. Ya, itu Sam! Lalu mengapa ia disini? Coba kubuntuti dia sampai akhirnya ia berhenti di depan kelasnya. Aku hanya bisa melihat dari ujung lorong. Tempat dimana Sam tidak menyadari keberadaanku. Aku melihat Sam berbicara dengan seorang perempuan yang aku kenal. Ya, dia sahabatku sendiri, Lia. Kulihat dari kejauhan, Sam memberi sekuntum mawar merah lengkap dengan kado berkotak merah muda. Tak lupa Sam memberi kecupan di dahi Lia. Betapa hancur hatiku melihat kejadian itu. Kejadian yang lebih memilukan daripada remidi fisika.

“Jadi apa arti genggaman tangan itu? Apa arti semua puisi yang dikirimkannya di pagi hari? Apa arti setiap lagu yang pernah ia mainkan untukku? Apa arti semua mawar merah yang selalu ia berikan setiap pagi?”

Tak kusadari air mataku perlahan jatuh membasahi pipiku, dadaku terasa sesak, ingin rasanya kubunuh mereka.

            Melihat mereka yang seperti itu, tanpa pikir panjang lagi aku pergi menghampiri sepedaku. Kukayuh pedal dengan sekuat tenaga hingga darah mulai mengalir dari kakiku.

“Hatiku berdarah, begitu pula kakiku. Lalu bagaimana aku akan bangkit?”

Air mata yang menetes, darah, serta hujan mengiringi sakit hatiku di malam itu.



Merpatiku Telah Hilang Pergi. 

Wednesday, April 23, 2014

Jatuh Cinta Diam-Diam

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 2:39 AM 0 comments

Diam, katanya emas. 
Jika memang begitu, harusnya orang yang jatuh cinta diam-diam praktis menjadi orang terkaya di dunia. 
Aku tahu! Mengapa jatuh cinta diam-diam tak kunjung membuat pelakunya kaya? 
Karena ‘emas’ yang di dapat karena diamnya habis digerogoti rasa penasaran dan kelelahan menebak-nebak.
Sesungguhnya benak orang yang jatuh cinta diam-diam adalah benak yang paling cerewet. Dalam pikirannya, orang yang jatuh cinta diam-diam akan terus berceloteh, bertanya, dan lagi, menebak. Mungkin terlihat tak ada lelahnya. Tetapi sebenarnya tak ada yang pernah menginginkan itu, hanya saja tak ada yang kuasa ketika itu menimpa dirinya.
Pertanyaan demi pertanyaan terus saja menghiasi pikiran. Aku, juga pernah jatuh cinta diam-diam. Kurang atau lebihnya, aku selalu bertanya.
“Apakah dia tahu kalau aku sering memandanginya bahkan ketika dia melakukan aktivitas sekecil apa pun?”
“Apa dia pernah melihatku, menyadari keberadaanku? Atau aku begitu tak nyata?”
“Pernahkah sedikit saja terlintas dalam pikirannya tentang aku?”
“Mengapa dia mengenakan baju dengan warna seperti warna kesukaanku?”
“Mengapa dia menyanyikan lagu favoritku di lorong kelas tadi?”
“Ah, bagaimana bisa dia bercerita ke temannya baru saja menonton film yang sudah berkali-kali aku tonton karena aku sungguh menyukainya?”
“Apakah dia punya perasaan yang sama denganku?”

Aku sering merenung, khususnya di malam hari. Tak mengerti mengapa hubungan antara satu manusia dengan manusia lain bisa begitu rumit, atau dibuat rumit oleh manusia itu sendiri? Entah.
Setahuku, komunikasi bisa meluruskan semuanya, menghilangkan penasaran, menghentikan kamu menebak-nebak. Bicara, dan kamu akan berhenti untuk lelah.
Karena orang yang jatuh cinta diam-diam, cintanya juga bisa berbalas. Balasan berupa penerimaan diam-diam, penolakan diam-diam, atau mungkin diabaikan diam-diam.

Sunday, April 13, 2014

Cerita Cinta Biasa

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 1:04 AM 0 comments
Gif: Tumblr (dreaming-when-lights-are-gone)
Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang berjalan di sebuah trotoar basah. Air hujan kala itu menyamarkan genang di matanya.
Tidak terjatuh. Air itu menggantung di pelupuk. Seperti rasa sesal yang tertumpuk. Bintik air mulai membasahi kemeja birunya. Ujung dasinya ia gulung kemudian dimasukkannya ke kantung kemeja, seperti enggan membuka dasi itu sama sekali. Tak ingin kebasahan, tapi melindunginya pun setengah hati.
Ada yang istimewa dengan dasi hitam itu.
Seolah tak takut pada rintik hujan, pria itu sama sekali tak mempercepat langkah kakinya. Tak ada kenaikan volume suara dari pantofel yang beradu dengan trotoar. Sesekali ia menengok ke kiri. Toko dan kedai satu persatu ia lewati.
Kali ini dia meluruskan tangannya ke depan, hanya untuk menyingsingkan lengan kemejanya, lalu membengkokkan sikunya hingga pergelangan tangan mendekati dada. Jarum jam di jam tangan hitamnya menunjukkan pukul 5.47 sore.
Sudah dua blok pria itu berjalan. Bahunya sudah membentur bahu orang lain tiga kali, hampir bertabrakan melawan lalu-lalangnya orang.
Pria itu memperlambat langkahnya, menengadah ke langit. Namun kini tak ada lagi titik air menjatuhi wajahnya. Hujan sudah reda. Ia bersandar di dinding sebuah toko roti. Seperti banyak yang dipikirkan, dahinya mengerut. Bola matanya menatap ke arah sudut kiri kelopaknya.
Tangannya mengepal. Ia memukul tembok. Kesal. Sekaligus terkejut. Ada sesosok pria terduduk satu setengah meter di kiri pria itu. Seorang pria lainnya. Sesosok pria tak berumah.
Gelandangan itu memegang sepotong kardus bertuliskan “uang, atau sebuah senyuman”.
Foto: Tumblr (thatfuckedupglory)
Mata sang pria memincing. Namun kemudian ia tersenyum. Berjalan perlahan mendekati si gelandangan, merogoh kantung celana bahannya, kemudian membungkuk. Diberikannya beberapa keping koin kembalian membeli kopi tadi sepulangnya bekerja. Pria itu tersenyum sekali lagi.
Gelandangan itu bertanya, “Hendak ke mana, Nak?”
“Entahlah. Aku pun tak tahu.”
“Mengapa berjalan jika tak tahu tujuan?”
“Aku ingin bertemu seseorang.”
Gelandangan itu menatap wajah sang pria lebih dalam dari sebelumnya, sebelum kemudian mengangguk perlahan mengusap janggut putihnya yang lebat. “Mengapa kamu memberikan semuanya?”
“Aku hanya memberikanmu koin,” jawab sang pria sedikit terheran, “bahkan ini masih ada sisa koin di sakuku.”
“Bukan. Aku hanya meminta uang, atau sebuah senyuman.”
“Ah, iya. Kalau bisa memberi semua, mengapa harus salah satu?”
Gelandangan itu tersenyum. “Kejarlah, Nak. Jangan setengah-setengah.”
Sang pria terdiam. Matanya terbuka. Ada degupan kencang di dadanya seraya ia berdiri kembali. Seketika ia melanjutkan langkahnya. Mempercepatnya. Bukan. Berlari!
Bagian bawah kemejanya mulai mengering, hanya tinggal bagian bahunya saja yang basah. Pria itu berhenti di satu persimpangan. Tepat di depan sebuah kios majalah. Sang pria menatap ke arah tiang lampu lalu lintas. Bibirnya terbuka membaca perlahan tulisan dari spidol merah di tiang itu.
Jio.
Ia berbalik dan menoleh ke arah kios majalah. Sontak pikiran pria itu terlempar jauh ke belakang. Tergambar sosok perempuan berambut panjang, tak terlalu lurus, sedikit ikal. Hidungnya tak mancung, malah cenderung besar. Pipinya pun mengingatkan pria itu tentang bakpao yang sering dijadikannya bahan ejekan untuk sang perempuan. Pria itu memanggilnya Jio.
Pria itu ingat betul perempuan yang ada di bayangannya sekarang sering mengeluhkan dirinya gendut. Perempuan yang sering merasa gendut itu telah membuat sang pria kurus karena sering memikirkannya.
24 menit sudah sang pria berdiri di persimpangan jalan itu. Selama itu, ia menancapkan tatapan ke kios majalah. Menunggu. Pria itu sesekali melihat jam tangannya. Kali ini jam tangannya menunjukkan pukul 6.57 malam.
“Harusnya sudah datang,” gumamnya.
Hingga Jio akhirnya tiba di kios majalah. Berbicara kepada penjaganya, menyerahkan sejumlah uang, dan mengambil majalah bergambar rumah di cover-nya.
Degup di dada sang pria semakin kencang. Ada lagi informasi kecil yang membangkitkan memori.Jio suka hal berbau interior. Pria itu mendadak ingat pernah membelikan Jio kursi unik berbentuk segitiga berwarna hijau sebagai hadiah ulang tahunnya.
Dengan keberanian terbesar yang selama ini ia kumpulkan, pria itu melangkah menghampiri Jio. Berhenti dan berdiri tetap di hadapannya. Jio terkejut, kemudian melihat dari kaki hingga kepala pria itu.
Jio, aku cuma ingin meminta maaf.”
“Nggak ada lagi …”
Belum selesai Jio bicara, pria itu menyambarnya. “Seumur hidupku aku nggak bisa hidup seperti ini. Hidup yang tanpa kamu di dalamnya.”
Jio terhenyak. Pipinya basah. “Aku yang harusnya minta maaf.”
Jio melangkah ke arah kanan pria itu. Cepat.
Belum sempat pria itu mengejar, Jio sudah disambut seorang pria dengan raut wajah agak kebingungan. Bahasa bibirnya menunjukkan, “Kamu kenapa?” bertanya kepada Jio, kemudian melayangkan sebuah pelukan di pundak.
Pria itu bergeming. Matanya menatap nanar. Bertambah lagi perbendaharaan sekuen pahit di hatinya. Yang bisa ia lakukan hanyalah merogoh sisa koin di kantung celananya, kemudian memandanginya. “Mengapa waktu itu tak kuberikan sepenuhnya?”
Pria itu menyesal karena tak selalu ada. Ia menyesal karena tak memberikan semua yang dipunya. Ia longgarkan simpul dasi hitam di kerah kemejanya dengan tangan kiri. Menggoyang-goyangkannya sedikit, kemudian melepasnya. Tak membuangnya, tapi menggenggamnya. Seperti hatinya masih ingin menggenggam, tapi harus melepas.
Kini, dahinya hanya bisa mengerut, menahan air mata untuk tak jatuh. Hanya tak ingin kelihatan cengeng.
Namun ada yang tak biasa dari alis tebalnya yang mengernyit. Sebuah petir menghunjam denyut jantungnya berupa rasa sakit. Sakit luar biasa, yang semuanya bermuara pada satu frasa. Rasa sesal.
Ini tentang cerita cinta yang biasa saja. Tentang seorang pria yang mencinta dengan biasa. Sebiasa ia bernapas. Saking terbiasa, hingga akhirnya sang pria tak bisa hidup tanpanya.

Saturday, April 12, 2014

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 8:29 AM 0 comments
Ada saatnya matahari harus tenggelam
Dan bila saat itu tiba, segala sesuatunya memang menjadi gelap
Tapi kita harus tahu bahwa Tuhan
memberikan bintang sebagai lentera dan bahwa sesudah terbenamnya, 
Matahari pasti akan terbit lagi hari esok.

-dwrnnthp



Merpatiku Telah Hilang Pergi

Posted by Dewirinanti Hayuning Prabajati at 6:39 AM 0 comments
Merpatiku Telah Hilang Pergi

Author: Dewirinanti H.P

N
amaku Amalia Yosi Firdausa, panggil aku Osa. Hari ini hari pertamaku masuk sekolah. Di sebuah kelas di ujung lorong. Kulihat wajah-wajah yang tampak asing bagiku. Di keasingan itu, kulihat sebuah karunia Tuhan yang sampai saat ini aku sebut “semangat hidup”. Aku tak bisa lepas dari tatapan pertamaku, tatapan dimana aku terjebak dalam dimensi waktu yang seakan-akan berhenti berlari ketika bertatapan dengan sosok itu.

            Hari berganti hari, setiap bel kehidupan berbunyi ingin rasanya aku berlari menjumpai sosok tampan yang ku tak tahu namanya itu.

            Hari ini pelajaran olahraga, aku menyeka peluh di wajahku sembari menatap kelasnya yang kuanggap sebagai surga di sekolahku. Tenggorokanku sangat kering sehingga kupalingkan surga itu sejenak untuk membasahi tenggorokanku. Kulangkahkan kakiku menuju koperasi yang letaknya jauh dari “surga” itu. Sesaat setelah aku membuka lemari pendingin untuk mengambil minum, kulihat tangan yang kecoklatan, yang tidak asing lagi bagi mataku. Saat kuberanikan diri menatap wajahnya, dia menatapku kembali. Mata kami bertemu dan saat kusadar, dialah cahaya hidupku. Waktu seakan berhenti, kami berdua melempar senyum bersamaan seakan berkata berpisah. Setelah kejadian itu, kutahu sudah namanya, Prabandaru Samuel Haryono.

            Sam, nama yang indah, nama yang gagah. Nama yang tampan. Setampan dan segagah parasnya. Hari berganti hari, aku sudah mulai mengenali seluk-beluk tentang dirinya karena dia juga anak populer di sekolah. Selain itu, dia juga mahir dalam bela diri. Dia tergabung dalam kelompok silat “Merpati Putih”. Aku menyesal karena sudah terlanjur tidak memilih ekskul yang sama dengan Sam. Padahal awalnya aku ingin masuk ke ekskul itu, untuk meneruskan karirku dalam bidang bela diri.

            Tak terasa, sudah 1 semester aku dan Sam menjadi kakak dan adik kelas. Sudah 1 semester pula aku menatapnya satu arah tanpa dia mengetahui keberadaanku. Miris memang, tetapi apa dayaku untuk menjadi dekat dan menjadi sorotannya. Mungkin baginya aku hanyalah angin lalu yang hanya sesaat, tapi bagiku ia lebih dari sekedar angin, bagiku ia udara. Tanpanya tak ada pula semangatku.

            Aku merasa bersalah, karena tujuanku untuk datang ke sekolah sudah teralihkan. Yang awalnya berniat untuk menimba ilmu, namun yang terjadi hanya menimba info Sam. Aku sadar aku sudah seharusnya rajin belajar, tapi apa daya hatiku berkata lain, Sam sudah berhasil mencuri hatiku dan juga pikiranku.

            Setelah sekian lama, aku mulai mencari tahu tentang apapun tentangnya di sosial media. Dia bukan anak yang eksis di Facebook atau semacamnya. Kuberanikan diri untuk menekan tombol ADD FRIEND yang sampai sekarang tak kunjung dikonfirmasinya. Sedih rasanya, namun siapalah aku ini.

            Sore ini aku mengikuti kegiatan pramuka yang tentu saja menginap. Disitu mulai kukenal teman satu angkatanku yang juga “menjabat” sebagai Penggemar Rahasia Para Senior. Entah pesona apa yang dimiliki para senior kami sehingga kami takluk dibuatnya. Sebut saja Barbie, ia teman satu regu denganku. Ia juga anak Merpati Putih. Jujur aku sering merasa iri dengannya, ia yang terkenal supel dan cantik. Tak heran maka banyak senior yang terpikat olehnya.

            Malam saat kami sedang menikmati dingin, kami dikejutkan dengan suara Barbie yang baru saja mendapat pesan singkat dari Sam, “EH MAS SAM SMS AKU NIH!”. Saat aku mendengarnya, entah apa yang telah menyambar hatiku hingga menusuk ke dalam. Sakit sekali. Karena tak tahan dengan hal itu, aku memilih pergi dari kawananku.
            Setelah kejadian itu, mulai pupus harapanku untuk mendapatkan sosok tampan ber-ninja itu. Tetapi saat harapan itu pupus, sosok itu justru datang kembali membawa sejuta pesona barunya hingga hatiku tak kuasa menolak pesonanya, “AAA SAM POTONG KUMIS JADI TAMBAH CUTEEEE!!!”.

            Selepas kedatangan dia kembali ke hatiku, banyak kejadian yang mulai mendekatkan aku dengannya kembali. Bertemu di Musholla, dan entah berapa kali mata kami bertemu. Aku sangat menikmati kedekatan kami yang jauh itu. Aku senang kami bisa sedekat ini.

            Suatu hari kulihat ia bermain basket di lapangan,
“Sungguh tampan ciptaan-Mu yang satu itu ya Tuhan” , gumamku.
Peluh yang membasahi wajahnya, membuatnya terlihat lebih tampan, lebih keren dari biasanya. Entah apa lagi yang menyambar hatiku, rasanya seperti tersambar petir yang membawa zat-zat aneh yang disebut cinta.

“Dia tampan, apa mungkin ia menyukaiku? Atau hanya pungguk yang merindukan bulan?”

            Di siang yang panas ini, seperti biasa, kulekatkan pandanganku ke arah XII IPA 4, kelas Sam. Terlintas di benakku, sedang apa ia sekarang. Apa yang dia pikirkan sekarang. Ah tapi sudahlah, siapakah aku ini. Suatu saat, aku mencoba membuka profilnya di facebook. Saat aku mulai men-stalking accountnya, saat itu jugalah aku patah hati. Kulihat seorang perempuan yang tidak kukenal, memasang nama Sam sebagai sampulnya. Patah hatilah aku. Pupus sudah harapanku. Aku tak lagi berharap apapun tentang dia (lagi).

            Saat ku mulai berhenti untuk menyukainya, dia justru datang. Berusaha mengobati luka lamaku mungkin. Harapanku yang hancur kini mulai ditata ulang olehnya, entahlah. Tapi aku senang dia datang kembali. Ia tersenyum padaku, ia mulai bercerita tentang masa lalunya padaku. Aku dan dia dekat, sekarang. Bahkan tempat duduk di ninjanya pernah kutempati. Tak pernah kusangka bisa sedekat ini, lebih dekat dari sekedar senyum dari kejauhan. Ya memang status kami hanya teman, tapi apalah arti sebuah status? Aku bahagia bisa SEDEKAT ini dengannya. Merengkuh tangannya, merasakan hangatnya genggamannya. Seakan dialah milikku, dan akulah miliknya. “Tuhan, jangan pisahkan kami (lagi)” batinku. Dialah semangat hidupku yang pernah hilang dan sekarang datang kembali.

            Tak terasa sudah satu tahun aku menjadi adik kelas Sam. Kabarku sekarang baik, Sam juga baik. Tapi kisah kami tidak.

            Hari itu malam perpisahan di sekolah kami. Aku datang kesana tanpa Sam. Sam berkata bahwa ia tak akan datang karena ia tak menyukai pesta. Saat arlojiku menunjukkan angka 10, aku melihat sosok tampan yang sangat kukenali wajahnya, sangat kuhafal wangi parfumnya. Ya, itu Sam! Lalu mengapa ia disini? Coba kubuntuti dia sampai akhirnya ia berhenti di depan kelasnya. Aku hanya bisa melihat dari ujung lorong. Tempat dimana Sam tidak menyadari keberadaanku. Aku melihat Sam berbicara dengan seorang perempuan yang aku kenal. Ya, dia sahabatku sendiri, Lia. Kulihat dari kejauhan, Sam memberi sekuntum mawar merah lengkap dengan kado berkotak merah muda. Tak lupa Sam memberi kecupan di dahi Lia. Betapa hancur hatiku melihat kejadian itu. Kejadian yang lebih memilukan daripada remidi fisika.

“Jadi apa arti genggaman tangan itu? Apa arti semua puisi yang dikirimkannya di pagi hari? Apa arti setiap lagu yang pernah ia mainkan untukku? Apa arti semua mawar merah yang selalu ia berikan setiap pagi?”

Tak kusadari air mataku perlahan jatuh membasahi pipiku, dadaku terasa sesak, ingin rasanya kubunuh mereka.

            Melihat mereka yang seperti itu, tanpa pikir panjang lagi aku pergi menghampiri sepedaku. Kukayuh pedal dengan sekuat tenaga hingga darah mulai mengalir dari kakiku.

“Hatiku berdarah, begitu pula kakiku. Lalu bagaimana aku akan bangkit?”

Air mata yang menetes, darah, serta hujan mengiringi sakit hatiku di malam itu.



Merpatiku Telah Hilang Pergi. 
 

The Incredible One Copyright © 2009 Baby Shop is Designed by Ipietoon Sponsored by Emocutez